Kamis, 07 April 2011

Tajalli

Mengenai tajali Allah,  bisa saja kepada siapa saja. terutama pada rasul-rasul, nabi-nabi, dan wali-wali-Nya. atau kepada siapapun yang dikehendakiNya. Apabila Allah bertajalli pada hambanya yang Ia kasihi, maka tangan, kaki, mata, telinga, hati, dan seluruhnya yang ada diri si hamba adalah tangan dan kaki Allah swt. Banyak hadis yang menerangkan perkara  ini.

Penyaksian terhadap tajalli-nya Tuhan di dunia, menurut pendapat kalangan sufi, bisa saja terjadi. Tetapi bukan dengan mata kepala, melainkan mata hati yang memperolehi Nur Mukasyafah. Dalam hal ini, yang perlu dicatat adalah penglihatan yang dimaksudkan, bukan melihat Kunhi Dzat-Nya (keadaan rupa, bentuk atau warna dari Dzat Tuhan), yang diistilahkan “bi ghairi kaifin wa hashrin wa dlarbin min mitsalin”. Tetapi pandangan syuhud (mata hati).
Dalam pandangan sufisme Jawa, yang diserap dari ajaran para Wali, sangat kental keyakinan bahwa Tuhan bertajalli kepada hamba-Nya yang dikehendakiNya.

Jalan Tajalli

Untuk mencapai Tajalli, diperlukan  ketekunan.   Bukan hanya itu, jalan yang harus dilaluinya beberapa lembah dan jurang, perjuangan demi perjuangan, kesungguhan, lapar dan dahaga, yang diistilahkan jurang fana, fana-ul fana, fana fillah wa baqa billah. Teori lain mengistilahkan Takhali, Tahalli, berjalan terus sampai pada Tajalli.
Takhalli adalah pengosongan dari sifat-sifat tercela, kemudian menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji yang disebut Tahalli. Pengosongan pikiran dan hati dari segala macam persoalan duniawi dan menghiasinya hanya semata-mata ‘dzikrullah’ (melihat yang diingat). Pengosongan dalam arti ‘fana segala yang fana’ hati dan pikiran itu pun fana, lalu terasa kemanisan, keindahan yang tiada tara. Istilahnya ‘rasa yang tiada berasa’.

Segalanya menjadi jelas, nyata dan terbentang. Itulah ‘mukasyafah’ (pembukaan). Di situlah tajalli Ke-Esa-an, laksana Musa AS yang sedang pingsan, dan Gunung Thursina pun hancur berantakan. Saking nikmat dan indahnya, Musa AS. Tidak mampu untuk berbicara, mana Musa? Mana gunung? Mana Tuhan? Akhirnya seperti apa yang dikatakanoleh Syech Junaid “Hakikat Tauhid (sebanar-benarnya tauhid) tiada lagi tanya, kenapa dan bagaimana.”

Dialog

Kalau Allah sudah bertajalli, maka tidak sekedar tajalli. Tetapi terjadi proses dialog antara hamba dengan Dzat Tuhan. Pembicaraan Allah dengan makhluknya disebut wahyu, untuk para Nabi dan Rasul, dan Ilham bagi manusia biasa. Ilham tidak bisa dijadikan dasar hukum, karena sifatnya sangat pribadi (perlu dirujuk kepada Al Quran dan Hadis).

Wahyu Allah kepada Nabi dan Rasul ada dua macam, yaitu melalui perantaraan malaikat Jibril, yang disebut Al-Quran untuk Nabi Muhammad SAW, dan wahyu langsung ke hati Rasul, yang disebut hadis Qudsi (firman dari Allah dan redaksinya dari Rasulullah).

Sedangkan bisikan Tuhan pada hati manusia biasanya (wali), baik sebagai petunjuk atau perintah, disebut Ilham. Sifatnya pribadi, tidak untuk disiarkan pada umum. Karenanya tidak boleh diceritakan secara sembarangan, terkecuali kepada ahlinya (orang yang memahami), orang yang menggeluti dunia sufi dan memahaminya. Jika diucapkan secara sembarangan, bisa menimbulkan fitnah dan sangat membahayakan.
Allah bisa saja berbicara kepada makhluk-mahlukNya, karena bersifat Mutakalim (Yang Maha Berbicara). Jangankan kepada Nabi dan Rasul, lebah-lebah pun mendapat perintahNya. Membuat sarang dan memproduksi madu di bukit dan di hutan. Ibu Nabi Musa (Maryam) yang manusia biasa, juga diberi wahyu, yang isinya petunjuk untuk menghanyutkan bayi Musa ke sungai Nil.

Banyak kisah auliya’ (wali-wali Allah) yang berdialog dengan Allah. Salah satunya yang terkenal adalah Abu Yazid Al-Bistami. Dalam kitab Ihya’, Imam Ghazali menceritakan karomah kekasih Allah ini, yang bersumber dari Yahya bin Muadz.

Yahya berkata kepada Abu Yazid, “Wahai tuanku, tolong tuan ceritakan pada saya tentang apa saja.” Lalu beliau menjawab: “ Aku ingin ceritakan padamu apa yang kira-kira baik buatmu. Aku telah Allah masukkan ke lapisan yang terbawah, lalu ia kelilingkan aku ke alam Malakut yang terbawah itu, dan Ia perlihatkan kepadaku lapisan bumi dan apa saja pada bagian bawah. Kemudian Allah angkat dan masukkan aku ke orbit yang tinggi dan Ia kelilingkan aku di ketinggian (langit) dan Ia perlihatkan padaku surga-surga dan ‘Arasy. Kemudian diletakkan aku dihadapan-Nya, seraya berkata: “Mintalah kepada-Ku apa saja, Aku akan berikan untukmu.” Aku pun berdatang sembah; “Ya Tuhanku, apapun yang aku lihat sudah cukup sudah cukup baik untukku. Lalu Ia berkata: “Hai Abu Yazid, engkaulah hamba-Ku yang benar, engkau sembah Aku hanya semata-mata karena-Ku.

Tercatat cukup banyak dialog muhadasta (antara seorang hamba yang bukan Nabi atau Rasul) dengan Allah SWT. Sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Buchari dikatakan: “Dari ‘Ady ibni Hatim, beliau berkata, bahwa Nabi telah bersabda: “Seseorang kamu akan bercakap-cakap dengan Allah tanpa ada penterjemah dan dinding yang mendidinginya.”



Lelaku Sunan Kalijaga Lewat Bima Suci

Jalan untuk mendekat pada GUSTI ALLAH disebut dengan Suluk. Sementara manusia yang mencari jalan untuk mendekat pada GUSTI ALLAH disebut dengan Salik. Kerinduan akan dekatnya diri dengan GUSTI ALLAH ini menjadikan seseorang mulai mencari asal mula dirinya dan bakal ia bawa kemana hidupnya ini.

Hal itulah yang juga pernah terjadi pada Kanjeng Sunan Kalijaga. Beliau mencari sesuatu yang hakiki dari hidup ini. Dan hal itu telah ditemukannya. Namun beliau tidak semata-mata ingin membuka pengalaman spiritual beliau tersebut secara gamblang. Sunan Kalijaga cenderung lebih memilih untuk menyamarkan pengalaman spiritualnya lewat kisah pewayangan dengan lakon Dewaruci atau kadangkala orang menyebutnya lakon wayang Bima suci.

Dalam lakon Dewaruci tersebut, mengisahkan tentang petualangan Bima dalam mencari tirta pawitra atau ‘Sangkan Paraning Dumadi’. Proses pencarian jati diri yang akhirnya menemukan ‘Sangkan Paraning Dumadi’ tersebut di kalangan umat Islam sesuai dengan Hadis Kanjeng Nabi Muhammad yang berbunyi “Man arafa nafsahu faqad rabbahu” yang artinya, ‘Barang siapa mengenal dirinya niscaya dia mengenal Tuhannya’.

Bagian cerita Dewaruci menceritakan bahwa Bima berserah diri pada gurunya. Sehabis berperang melawan Raksasa Rukmuka dan Rukmakala di Gunung Candramuka Hutan Tikbrasara, Bima kembali pada Pendeta Durna. Air suci yang diperintahkan Pendeta Durna untuk mencarinya tidak didapat. Ia menanyakan di mana tempat tirta pawitra yang sesungguhnya. Pendeta Durna menjawab, “Tempatnya berada di tengah samudra”. Mendengar jawaban itu Bima tidak putus asa dan tidak gentar. Ia menjawab, “Jangankan di tengah samudra, di atas surga atau di dasar bumi sampai lapis tujuh pun ia tidak akan takut menjalankan perintah Sang Pendeta”.

Ia segera berangkat ke tengah samudera. Semua kerabat Pandawa menangis mencegah tetapi tidak dihiraukan. Keadaan Bima yeng berserah diri jiwa raga secara penuh kepada gurunya. Berangkatlah Bima ke tepi lautan. Tanpa ragu-ragu iapun melangkah ke tengah laut karena meyakini apa yang dicarinya ada di tengah samudra.

Ketika berada di tengah samudera itulah, Bima bertemu dengan Dewaruci yang bertubuh kecil. Sang Dewaruci menegur Bima,”Hai Bima, apa yang kau cari di tengah samudera ini?” Bima pun menjawab dengan sigap bahwa dirinya mencari tirta pawitra seperti diperintahkan gurunya, Begawan Durna. Dewaruci memperingatkan Bima bahwa apa yang dicarinya tidak ada di tengah samudra. Tetapi Bima tetap ngotot ingin mencari.

Singkat cerita, lantaran tekad Bima yang sangat besar itu, Dewaruci memerintahkan pada Bima untuk masuk ke dalam badan Dewaruci yang kecil. Seketika Bima pun tertawa terbahak-bahak. “Bagaimana aku yang bertubuh besar bisa masuk ke dalam badanmu yang kecil? Itu jelas tidak mungkin,” kata Bima. Tetapi Dewaruci pun menjawab,”Hai Bima, besar mana tubuhmu dengan alam semesta ini?” Bima menjawab,” Jelas lebih besar alam semesta ini.” “Lah alam semesta yang katamu besar ini saja bisa masuk ke dalam tubuhku, mengapa kamu tidak bisa masuk? Kamu pasti bisa masuk,” tegas Dewaruci sembari memerintahkan Bima untuk masuk ke dalam badan Dewaruci melalui ‘telinga kiri’ sang Dewaruci.

Setelah masuk badan Dewaruci, Bima merasakan bahwa dirinya tidak melihat apa-apa. Yang ia lihat hanyalah kekosongan pandangan yang tak terhingga. Ke mana pun ia berjalan yang ia lihat hanya angkasa kosong, dan samudra yang luas yang tidak bertepi. Bima tidak tahu lagi mana arah barat dan timur, selatan dan utara. Semuanya serba membingungkan. Tiba-tiba ia melihat cahaya. Cahaya yang dilihat Bima beraneka macam warna. Beraneka macam warna cahaya itu dikalangan orang-orang yang lelaku disebut Pancamaya.

Bima melihat empat warna cahaya, yaitu: hitam, merah, kuning, dan putih. Warna-warna itu melambangkan aneka nafsu yang merupakan penghalang cipta, rasa dan karsa untuk bertemu dengan GUSTI ALLAH. Nafsu yang muncul dari warna hitam disebut aluamah, yang dari warna merah disebut amarah, dan yang muncul dari warna kuning disebut sufiah. Nafsu aluamah amarah, dan sufiah merupakan selubung atau penghalang untuk bertemu dengan GUSTI ALLAH.

Hanya yang putih yang nyata. Hati tenang tidak macam-macam, hanya satu yaitu menuju keutamaan dan keselamatan. Namun, yang putih ini hanya sendiri, tiada berteman sehingga selalu kalah. Jika bisa menguasai yang tiga hal, yaitu yang merah, hitam, dan kuning, manunggalnya hamba dengan Tuhan terjadi dengan sendirinya; sempurna hidupnya.

Setelah itu warna-warna yang dilihat Bima itupun hilang dan berganti dengan 8 warna. Siji wolu kang warni ‘sinar tunggal berwarna delapan’. Disebutkan bahwa sinar tunggal berwarna delapan adalah “Sesungguhnya Warna”, itulah Yang Tunggal. Seluruh warna juga berada pada Bima. Demikian pula seluruh isi bumi tergambar pada badan Bima. Dunia kecil, mikrokosmos, dan dunia besar, makrokosmos, isinya tidak ada bedanya. Jika warna-warna yang ada di dunia itu hilang, maka seluruh warna akan menjadi tidak ada, kosong, terkumpul kembali kepada warna yang sejati, Yang Tunggal.

Setelah itu, Bima melihat benda bagaikan boneka gading yang bersinar. Itu adalah Pramana, secara filosofis melambangkan Roh. Pramana ‘Roh’ kedudukannya dibatasi oleh jasad. Seusai semuanya, Bima tidak lagi merasakan apa-apa. Ia merasakan dirinya sudah tidak ada dan lenyap bersama dengan KeberadaanNYA. Bima tak merasakan khawatir, tidak ingin makan dan tidur, tidak merasakan lapar dan mengantuk, tidak merasakan kesulitan, hanya nikmat semata. Hal ini menyebabkan Bima betah berlama-lama di tempat dan kondisi tersebut .

Pencarian Bima Suci itupun akhirnya berakhir dengan kebahagiaan. Bukankah kebahagiaan dan ketentraman dalam hidup dan hidup serasa diayomi dan dilindungi itu yang kita cari? Untuk itu, tidak ada salahnya jika kini Anda mulai menjadi seorang salik yang mencari suluk sejati seperti halnya laku Sunan Kalijaga yang disamarkan lewat kisah Bima Suci atau Dewaruci.