Minggu, 21 Agustus 2011

Nur Muhammad



Allah adalah suatu zat yang Mutlak yang mendahului segala sesuatu,
“ketika bumi dan langit belum ada, arasy dan kursyi belum ada, surga dan neraka belum ada, alam sekalian belum ada, apa yang pertama? Yang pertama ialah Zat, yang ada pada dirinya, tiada sifat dan tiada nama. Itulah yang pertama.

Selanjutnya dikatakan bahwa Zat Allah itu tak bisa diibaratkan, tak bisa diuraikan dengan ibarat, sebab tak ada ibarat yang bisa dipakai untuk mengurai keadaan Allah. Pada-Nya tiada atas atau bawah, tak ada dahulu atau kemudian, tak ada kanan atau kiri dan seterusnya. Allah adalah Zat yang Mutlak yang diibaratkan sebagai laut yang tiada berkesudahan. laut itu juga disebut sebagai Laut Batiniyyah, laut yang dalam dan laut yang mulia.

Hakekat sebenarnya dari Zat Allah itu tanpa pembeda-bedaan (la ta’ayyun). mengambarkan cara Zat Mutlak itu menjelma (tanazzul) seperti laut Penjelmaan atau pengaliran ke luar itu terjadi dalam beberapa pangkat atau martabat yaitu : (1) pangkat laut yang bergerak di dalamnya segala sesuatu tersimpan, (2) pangkat ombak,di dalamnya terjadi peninjauan Zat atas diri-Nya sendiri (3) pangkat asap dan awan, di dalamnya realitas yang terpendam berada sebagai satu kesatuan yang kemudian membagi-bagi diri untuk kemudian mengalir ke luar ke dalam dunia gejala /fenomena ini, (4) pangkat hujan, di dalamnya realitas yang terpendam itu keluar atas perintah ilahi “ fa yakun”, serta (5) pangkat sungai,yaitu gambaran dunia yang kongkrit ini. mengatakan dalam Zinatul –Muwahidin :

“Adapun ta’ayyun awwal itu ditamsilkan oleh ahli suluk seperti laut. Apabila laut timbul maka ombak namanya, yakni apabila alim memandang dirinya, maklum jadi pada dirinya; Apabila laut itu melepas jadi nyawa, asap namanya, yakni nyawa ruh idlafi kepada namanya, yakni ruh idhafi dengan a’yan tsabitah keluar dengan qaul (kun fa yakun) berbagai-bagai. Apabila hujan itu jatuh ke bumi, sungai namanya, yakni setelah ruh idhafi dengan isti’dad asli dengan a’yan tsabitah hilir di bawah kun fa yakun sungai namanya. Apabila sungai itu pulang ke laut,laut hukumnya. Tetapi laut itu maha suci tiada berlebih dan tiada berkurang . Jika keluar sekalian itu tiada ia kurang, jika masuk pun sekalian itu tiada ia kurang lebih, karena ia suci dari pada segala suci

Tahap-tahap pengaliran/ martabat itu diistilahkan dengan ahadiyah, wahdah, wahidiyah. Pangkat ahadiyah disebut juga pangkat la-ta’ayyun (tanpa pembeda-beda). Wahdah digambarkan sebagai gerak ombak. Pangkat ini disebutnya sebagai ta’ayyun awwal (pembedaan pertama). Pada pangkat ini terjadi empat pembedaan yaitu :pengetahuan (ilm), eksistensi (wujud), pengamatan (syuhud), dan cahaya (nur). Pada pembedaan pertama ini Zat Allah menjadi sadar akan diri-Nya sendiri serta memiliki pengetahuan tentang segala daya yang terpendam pada diri-Nya sebagai kesatuan. Di sini berarti bahwa Zat Allah tahu bahwa diri-Nya sendiri yang ada, tiada yang lain kecuali Dia. Ia tahu bahwa Ia memiliki daya untuk menjelmakan Diri-Nya.

Tingkatan wahdah ini disebut juga ”cahaya Muhammad” (Nur Muhammad) atau “realitas Muhammad”.

“Taayyun awaal wujud yang jama’i, pertama di sana nyata. Ruh idlafi, semesta alam sana lagi ijmali, itulah bernama hakikat Muhammad nabi.

Di tempat lain dikatakan :

“Wahdah itulah yang bernama “kamal zati”. Menyatakan sana ruh Muhammad an- nabi, tatkala itu bernama “ruh idlafi”(

“. . .’ilm yang melihat maklumat itu, hakikat Muhammad saw. Antara ‘alim dan ma’lum itulah asal cahaya Muhammad pertama-tama bercerai dari pada Zat.

Adapun pada suatu ibarat,itulah bernama “ruh idhafi”, yakni nyawa bercampur ;dan pada saat ibarat : “aqlul-kulli” namanya[yakni] perhimpunan segala budi. Dan pada suatu ibarat “nur” namanya, yakni cahaya; pada suatu ibarat ”kalamul-a’la” namanya, yakni kalam yang maha tinggi; dan pada suatu ibarat “lauch” namanya, yakni papan tempat menyurat; karena itulah maka sabda Rasullulah: ”awwalu maa khalaqa- Allaahu ta’aala ar-‘Ruah, awwalu maa khalaqa- Allaahu ta’aala an-Nuur, awwalu maa khalaqa Allaahu ta’aala al-‘aql; awwalu maa khalaqa Allaahu ta’aala al-qalam”

Di sini dijelaskan bagaimana kedudukan Nur Muhammad. Nur Muhammad adalah pengetahuan(‘ilm) yang melihat kepada ma’lum atau ide. Tempatnya berasal di antara yang mengenal dan yang dikenal (antara Zat yang Mutlak dan dunia). Oleh karena itu pada bagian lain disebutkan bahwa Nur Muhammad bersinar dari Zat Allah dan bahwa seluruh alam semesta dijadikan dari pada cahaya Muhammad. Sebaliknya Nur Muhammad dijadikan dari pada Zat Allah dan bahwa seandainya tiada cahaya Muhammad, maka alam semesta ini tidak akan ada

Pada pangkat wahdah ini peranannya dalam penjelmaan akali sangat penting. Sebagaimana diketahui bahwa penjelmaan ada dua yaitu penjelmaan yang terjadi dalam diri Zat yang Mutlak yang sifatnya akali dan penjelmaan yang terjadi di luar Zat yang Mutlak, sifatnya bisa dilihat. Hubungan keduanya itu sama dengan hubungan antara perwujudan dan gambar yang dipantulkan, atau sebagai lahir dan batin, sedemikian rupa sehingga Zat yang Mutlak itu tampak di dalam dunia gejala. Wahdah adalah cermin yang memantulkan gambar dari yang Mutlak atau bayang Yang Mutlak. Wachda adalah pangkat penilikan diri dari Zat yang Mutlak, yang dengannya Yang Mutlak mengenal diri-Nya dan kemudian seolah-olah Yang Mutlak bangkit dari lamunan-Nya. Wahdah adalah logos. Ia disebut juga “nur Muhammad” (Hadiwijono,tt:47).

Pangkat selanjutnya adalah wahidiyah yang disebut juga pembeda-bedaan kedua (ta’ayyun tsani). Pada pangkat ini realitas Muhammad pada ta’ayyun awwal menimbulkan manusia atau chaqiqat insan.

Ketiga pangkat penjelmaan, ahadiyah, wahdah, wahidiyah, semuanya terjadi dalam satu eksistensi Ilahi. Maka ketiganya disebut sebagai “Maratib-ilahi”.

Penjelmaan selanjutnya dikatakan:

“Apabila awan itu titik udara,hujan namanya; yakni ruh idhafi dengan a’yan tsabitah keluar dari qaul kun fa yakun, berbagai-bagai.

Di bagian lain menyebutkan adanya pembeda-bedaan ketiga (ta’ayyun tsalis) yang dinamai pula a’yan kharija (realitas yang keluar). Pengertian a’yan kharija menunjukkan bahwa penjelmaan ini dan penjelmaan berikutnya terjadi di luar Zat yang Mutlak, yaitu di dalam dunia.

Pada pangkat ini realitas yang terpendam yang di dalam pangkat wahidiyya berkumpul sebagai awan, sekarang mengalir ke luar sebagai roh. Oleh karena itu pangkat ini disebut juga alam arwah. Selanjutnya dari pangkat alam arwah ini menjelma keluar menjadi hujan, air dan sungai yang terkenal dengan pangkat-pangkat alam mitsal, alam ajsam, alam insan.

Pangkat alam mitsal, adalah pangkat penjelmaan di mana pembagian rohaniah adalah suatu kenyataan. Alam ini adalah alam cita/ ide. Alam ini merupakan perbatasan antara alam arwah dan alam segala tubuh. Alam ini bercirikan warna seperti alam impian. Alam Ajsam atau alam segala tubuh adalah dunia yang terdiri dari anasir yang halus yang tak bisa diamati oleh indera, serta tak binasa. Pangkat penjelmaan terakhir adalah alam insan, yaitu dunia yang nampak ini. Alam ini disebut juga alam manusia sempurna (alam insan al-kamil).

Ketujuh pangkat penjelmaan yang selanjutnya sering disebut teori martabat tujuh itu sebenarnya bisa dirangkumkan menjadi tiga pangkat, yaitu dari Zat yang Mutlak (Ahadiyah), pangkat penengah di mana realitas yang terpendam (a’yan tsabita) timbul, baik sebagai kesatuan maupun sudah terinci (wahdah dan wahidiyya), dan pangkat dunia gejala, yaitu realitas keluar (a’yan kharija). Demikianlah penjelasan tentang tanazzul (mengalir ke luar)-nya Zat yang Mutlak. Dia menempatkan Nur Muhammad sebagai penghubung/ perantara antara Zat yang Mutlak (Tuhan) dengan dunia. Dari Nur Muhammadlah Zat yang Mutlak bersinar. Dari Nur Muhammad pula asal segala kejadian alam ini. Pangkat penjelmaan terakhir adalah alam insan, yaitu dunia yang nampak ini. Alam ini disebut juga alam manusia sempurna (alam insan al-kamil).